Kenapa Perempuan Sebaiknya Tidak Menjadi Wanita Karir


Perempuan adalah makhluk yang mulia dan patut dimuliakan.

Bukan karena adanya emansipasi wanita, tapi sudah sejak dari perempuan itu diciptakan.

 

Di sini saya akan menulis tentang kenapa seharunya tidak menjadi wanita karir. Tulisan ini berlatar belakang saat saya mendapat tugas kerja di salah satu kantor BUMN perusahaan properti di Jakarta. Sudah sekitar tiga minggu saya di kantor mereka untuk menyelesaikan pekerjaan. Sebagai gambaran di swasta para pegawainya lebih fashionable dibandingkan dengan pegawai di pemerintahan (atau PNS). Saya bisa berbicara seperti ini dari pengamatan dan pengalaman yang saya alami. Dulu pada saat praktik kerja lapangan di salah satu kantor berlabel pemerintah (di Jakarta juga) dan sekarang mendapat tugas di perusahaan swasta. Yang menjadi fokus pada tulisan saya kali ini adalah tentang perempuan.

Di swasta, para pegawai perempuan lebih cantik-cantik dan seperti yang saya bilang di awal yaitu fashionable, sehingga enak dilihat dari kaca mata seorang laki-laki, apalagi masih muda-muda seperti yang terdapat di kantor BUMN ini. Berbeda dengan di pemerintahan yang lebih terkesan sederhana, kalaupun ada hanya satu dua orang saja. Ya, meski BUMN tidak sepenuhnya swasta tapi semi pemerintah namun unsur swasta lebih dominan. Interaksi antar pegawai, baik muda maupun tua, baik laki-laki maupun perempuan juga lebih luwes. Maka, laki-laki mana yang tidak betah jika di kantor tempat dia bekerja banyak perempuan cantik nan sedap dipandang. Itulah yang ada di pikiran saya sebagai laki-laki normal selama beberapa minggu di kantor ini. Hingga suatu saat saya berpikir sedikit lebih mendalam dan timbul pertanyaan, “bagaimana ya perasaan para laki-laki di sini yang sudah memilki pasangan jika di kantor, mereka setiap harinya ber-haha hihi dengan perempuan yang hanya patner kerja?”. Dan begitu pula dengan perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka dalam sehari untuk bertemu dan berbicara dengan laki-laki yang bukan seseorang yang menemani mereka mengarungi hidup dibandingkan dengan pasangan hidup mereka?

Penasaran ini menjadi semacam kekhawatiran saya di masa depan jika nanti telah bekerja sebagai pegawai di kantor.

Pada suatu siang kekhawatiran saya ini semacam dirasakan juga dengan senior saya yang kebetulan seorang perempuan dan sudah menikah dengan sebuah pertanyaan

“Itu para cewe-cewe yang bekerja di sini apa tidak risih ya berpakaian seperti itu, mengenakan blouse (yang saya maksud di sini adalah baju terusan dari atas sampai paha/lutut), saya dulu aja pas kerja sebelum memakai kerudung pakainnya ga gitu-gitu juga, risih gitu kesannya, saya pakai celana panjang, berkemeja”

Lalu ada yang menjawab, “Ya biasalah di swasta, budayanya gitu, penampilan penting ga seperti PNS”

Percakapan yang tepat menggambarkan apa yang ada dalam pikiran saya.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa sebaiknya perempuan tidak menjadi wanita karir.

Jika seorang perempuan saja mengkhawatirkan itu, melihat dari penampilan mereka yang dapat “memancing” kaum laki-laki. Istilah Jawa “tresna jalaran saka kulina” mungkin juga akan berlaku. Bagaimana tidak, setiap hari bertemu, setiap hari ngobrol, menghabiskan waktu bersama seharian, belum lagi kalau ada meeting di luar, makan siang bersama, dan hal-hal lainnya.

Bayangkan bagaimana perasaan pasangan kita jika mengetahui kelakuan yang terjadi pada kita. Perempuan-perempuan cantik dan masih muda.

Ini hanya pendapat saya, mungkin ada yang beranggapan kalau hal tersebut tergantung bagaimana kita membawa diri, cara kita bergaul, berpakaian sopan. Namun, laki-laki adalah laki-laki dan pepatah Jawa masih dapat berlaku. Makanya di sini saya menggunakan kata “sebaiknya” karena sejatinya yang mencari nafkah adalah seorang laki-laki, perempuan itu mulia dan dimuliakan.

Leave a comment